Jumat, 24 November 2017

Q002045006 (Surat Al-Baqarah, Ayat ke-45, Kata “illaa”)

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

أتأمرون النّاسَ بالبرِّ وتنسَون أنفسَكم وأنتم تتلون الكتٰبَ ۚ أفلا تعقلون (QS 2:44)

واستعينُوا بالصّبرِ والصّلوٰةِ ۚ وإنّهَا لكبيرةٌ إلّا على الخٰشعينَ (QS 2:45)

Alhamdulillahi wasyukurillahi 'alaa ni'matillahi. Segala puji dan syukur bagi Allah atas segala nikhmat, baik nikhmat iman, nikhmat Islam dan nikhmat kelezatan dunia yang Allah berikan pada kita. Salawat dan salam kita ucapkan kepada junjungan kita, Nabi dan Rasul yang mulia Muhammad SAW dan keluarga Beliau, kepada para Sahabat RA, para Tabi'in, Tabiut Tabiahum dan kepada semua ummat Islam dimanapun berada sepanjang zaman. Semoga kita semua dapat senantiasa istiqamah menegakkan ajaran Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al'aalamiin.

Ayat ke-45 surat Al-Baqarah ini terdiri dari beberapa bagian kalimat sebagai berikut:
  • Dan mohonlah pertolongan = واستعينُوا
  • dengan sabar dan shalat. = بالصّبرِ والصّلوٰةِ ۚ
  • Dan sesungguhnya yang demikian itu = وإنّهَا
  • sungguh berat, kecuali = لكبيرةٌ إلّا
  • bagi orang-orang yang khusyu' = على الخٰشعينَ

Jika Allah menghendaki atau insya Allah (إن شاء الله atau kalau dilatenkan "in syaa-a Allaah"), pada hari ini kita akan membahas kata ke-6 dari ayat ke-45 surat Al-Baqarah, yaitu kata illaa (إِلَّا) = kecuali. 

Sebelumnya sudah kita bahas bahwa Istitsnaa' bisa merupakan huruf, isim atau fi'il. Kata istitsnaa' adalah kata untuk mengecualikan, yang dalam ilmu nahwu disebut adawat (jamak dari adat) istitsna. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam kalimat pengecualian, yaitu:
  • Al-Mustatsnaa, yaitu kata (biasanya isim) yang jatuh sesudah adat istitsnaa’)
  • Al-Mustatsna minhu, yaitu kata (biasanya isim) yang ada sebelum adat istitsnaa' yang dijadikan patokan pengecualian)
  • Adatul-Istitsnaa’ (perangkat istitsnaa').

Jadi adawat, adat, lafazh atau kata istitsnaa' berfungsi untuk mengecualikan kata (biasanya isim) sesudah kata istitsnaa' (disebut mustatsnaa) yang masuk dalam hukum kata (biasanya isim) sebelum kata istitsnaa' (disebut mustatsnaa minhu) baik pemasukan hukum tersebut secara jelas (hakiki) atau perkiraaan (taqdiri).

Kata istitsnaa semuanya ada delapan yang semuanya berarti kecuali, selain atau melainkan. Kata istitsnaa' dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
  1. Huruf istitsnaa', yaitu kata illaa (إلَّا)
  2. Isim istitsnaa', yaitu kata ghairu (غَيْرُ) dan siwaa (سِوَى). Kata siwaa (سِوَى) bisa berupa kata suwaa (سُوَى) atau sawaau (سَوَاءُ),
  3. Fi'il istitsnaa', yaitu laisa (لَيْسَ) dan laa yakuunu (لَا يَكُونُ). 
  4. Bisa dimasukan sebagai fi’il istitsnaa atau huruf istitsnaa', yaitu kata khalaa (خَلَا), 'adaa (عَدَا) dan haasyaa (حَاشَا). Kata haasyaa (حَاشَا) pada umumnya masuk kepada huruf istitsnaa'.

Adawat istitsnaa adalah mabni. I'rab mustatsnaa pada umumnya adalah wajib Nashab ‘ala Istitsnaiyah, dengan syarat:
  1. Berupa Kalam Tamm yaitu: kalam Istitsnaa dengan menyebut Mustatsna Minhu.
  2. Berupa Kalam Mujab (kalimat positif) yaitu: tanpa Nafi atau Syibhu Nafi (Nahi, Istifham bimakna Nafi).

Ada 3 kaidah yang berkaitan dengan huruf istitsna illaa (إلّا): 
  1. Bila kalimatnya sempurna dan positif, maka mustatsnaa'nya wajib manshub. 
  2. Bila kalimatnya sempurna dan negatif, maka boleh menghukumi mustatsna sebagai badal (mengikuti mustatsnaa' minhu) ataupun manshub dengan adat ististnaa. 
  3. Bila kalimatnya negatif dan tidak sempurna, maka i’rab mustatsna mengikuti ‘amilnya. 

Bila istitsnanya menggunakan isim istitsnaa' ghairu (غير), siwaa (سِوى), suwaa (سُوى) dan sawaau (سَواء) maka mustatsnanya wajib majrur. Karena keempat jenis istitsna ini merupakan isim bukan huruf, maka ketiga kaidah huruf ististna di atas bukannya berlaku untuk mustatsna nya melainkan untuk keempat isim istitsna ini. Sehingga: 
  1. Bila kalimatnya sempurna dan positif, maka isim istitsna nya yang wajib manshub sedangkan mustatsna nya wajib majrur. 
  2. Bila kalimatnya sempurna dan negatif, maka boleh menghukumi isim istitsna sebagai badal ataupun manshub dengan adat ististnaa sedangkan mustatsna nya tetap wajib majrur. 
  3. Bila kalimatnya negatif dan tidak sempurna, maka I’rab isim ististna mengikuti ‘amilnya sedangkan mustatsna tetap wajib majrur. 

Catatan bahwa karena isim siwaa (سِوى) dan suwaa (سُوى) diakhiri alif maqsurah (ى) maka tidak terlihat perbedaannya ketika marfu, manshub, dan majrur karena sama-sama dalam keadaan aslinya. 

Bila istitsnanya menggunakan khalaa (َخَلاَ), 'adaa (عَدَا) dan haasyaa  (حَاشَا) maka boleh menjadikan mustatsnanya manshub atau majrur. Jika mustatsnaa'nya majrur, maka ketiga adawat istitsna ini dianggap sebagai huruf istitsnaa' atau huruf jar dan mustatsnaa'nya disebut isim majrur. Sedangkan jika mustatsnaa'nya manshub, maka ketiga adawat istitsna ini dianggap sebagai fi’il istitsnaa dan mustastsna disebut sebagai maf’ul bih.  

Sebelumnya juga sudah kita bahas sedikit tentang al-hashr (الحصر) atau al-qashr (القصر). Qashr adalah mengkhususkan sesuatu dengan sesuatu yang lain atau pembatasan sesuatu terhadap yang lain, dengan metode tertentu. Perhatikan bahwa Al-Qashr bermakna Al-Hashr, sehingga sering disebut hashr, sering pula disebut qashr, karena Al-Hashr adalah Al-Qashr: pembatasan sesuatu terhadap yang lain. Keduanya (hashr dan qashr) memiliki makna yang sama.

Ditinjau dari sisi hakikat (fakta) dan kenyataannya, Qashr dibagi menjadi haqiiqii dan idhaafii. Qashr haqiqi adalah qashr yang pengkhususannya berdasarkan fakta dan kenyataan, bukan berdasarkan idhafah (penyandaran) terhadap sesuatu yang lain. Qashr idhafi adalah yang pengkhususannya berdasarkan idhafah (penyandaran) kepada sesuatu yang tertentu. 

Dua jenis hashr tersebut (haqiqi dan idhafi) dibagi menjadi:
  • Qashr shifah ‘alaa mawshuuf (membatasi sifat dari yang disifati).
  • Qashr mawshuuf ‘alaa shifah (membatasi sesuatu yang disifati dari suatu sifat).

Qashr idhafi menurut kondisi orang yang diajak bicara terbagi menjadi tiga macam:
  • Qashr ifraad, apabila orang yang diajak bicara meyakini bahwa kenyataannya lebih dari satu.
  • Qashr qalb, apabila orang yang diajak bicara meyakini kenyataannya adalah sebaliknya.
  • Qashr ta’yiin, apabila orang yang diajak bicara meyakini kenyataanya hanya satu dan tidak tertentu.

Ada beberapa cara atsu metods untuk membentuk hashr atau qashr. Adapun alat membuat hashr yang masyhur itu ada empat, yaitu:
  1. Cara peryama yaitu menggunakan nafi (penafian) yang disusul dengan istitsnaa’ (pengecualian). 
  2. Cara yang kedua adalah dengan menggunakan inamaa إنما)) = hanya. 
  3. Cara ketiga adalah dengan ‘athaf dengan huruf bal (بل) = melainkan, laa (لا) = bukan, atau lakin (لكن) = tetapi. 
  4. Cara ke-empat adalah dengan mendahulukan yang seharusnya diposisikan di akhir. 

Jadi kata illaa (إِلَّا) pada ayat ke-45 surat Al-Baqarah ini termasuk huruf istitsnaa' atau hashr (pembatasan). Kata illaa (إلّا) dalam Al-Qur'an terdapat sebanyak 714 kali.


1.0. Indek = Q002045006
1.1. No surat = 2
1.2. No ayat = 45
1.3. No kalimat = 6
2.0. Qur'anic = إِلَّا
2.1. Tarjamah = kecuali
2.2. Jenis kalimat = حرف
3.0. Awalan1 = 
3.1. Tarjamah = 
3.2. Jenis kalimat = 
3.3. Awalan2 = 
3.6. Awalan3 = 
4.0. Sisipan1 = 
4.3. Sisipan2 = 
5.0. Akhiran1 = 
5.1. Tarjamah = 
5.2. Jenis kalimat = 
5.3. Akhiran2 =
5.6. Akhiran3 =
6.0. Asal kalimat = إِلَّا
6.1. Tarjamah = kecuali
6.2. Jenis kalimat = حرف
7.0. Akar kalimat = 
7.1. Tarjamah = 
7.2. Jenis kalimat = 

الحمدُ للّـهِ ربِّ العٰلمِينَ

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah. Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.

Wassalam


References:

  1. http://www.almaany.com/quran/2/34/7/
  2. http://corpus.quran.com/treebank.jsp?chapter=2&verse=34&token=6
  3. http://tanzil.net/#search/quran/إلّا

Tidak ada komentar:

Posting Komentar